Sabtu, 22 November 2014

Jaring Insang Hanyut



TUGAS TERSTRUKTUR
PENGANTAR ILMU PENANGKAPAN IKAN




JARING INSANG HANYUT






Sofi Alfiyah
H1G013026
sofialfiyah123@gmail.com





PROGRAM STUDI
FAKULTAS PERIKANAN DAN KELAUTAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
 PURWOKERTO
2014





 JARING INSANG HANYUT

A.   Deskripsi Alat
            Jaring insang hanyut (Drift gillnet) merupakan alat penangkap ikan yang terbuat dari jaring, berbentuk persegi empat  dengan ukuran mata jaring yang sama dan dioperasikan dengan cara dihanyutkan. Jaring insang hanyut termasuk ke dalam klasifikasi alat tangkap jaring insang atau gill net (Diniah,2008). Gill net adalah jaring yang berbentuk empat persegi panjang , memiliki mata jaring yang sama ukurannya pada semua jaring, lebar lebih pendek jika dibandingkan dengan panjangnya. Pemakaian gill net tergantung daerah penangkapannya dan jenis ikan yang ingin di tangkap.
Bagian-bagian dari jaring insang hanyut adalah pelampung tanda (bouy), tali pelampung tanda pelampung, pelampung (float), tali selambar, tali ris atas, badan jaring, pemberat, tali ris bawah, jangkar dan tali jangkar. Pelampung tanda terbuat dari bahan poly vinil clorida (PVC) dan berfungsi sebagai penanda letak alat tangkap. Pelambung biasanya terbuat dari karet sendal jepit dan berfungsi menjaga agar alat tetap mengapung. Tali pelampung tanda, tali ris atas, tali ris bawah, tali jangkar dan tali selambar terbuat dari bahan poly ethilene (PE). Badan jaring terbuat dari bahan poli amide (PA) dan berfungsi sebagai penjerat mangsa. Pemberat terbuat dari timah dan berfungsi agar alat tetap terbentang. Sedangkan jangkar terbuat dari logam atau timah.
Konstruksi jaring insang bagian tali pelampung : 
  

A.   Pengoperasian Alat
            Pengoperasian jaring insang hanyut biasanya dilakukan pada malam hari. Biasanya nelayan berangkat ke laut pada sore hari dan kembali lagi pada pagi hari. Pada saat nelayan tiba di daerah penangkapan yang dituju, kecepatan perahu dikurangi dan nelayan
bersiap-siap untuk melakukan setting. Setting dimulai dengan menurunkan pelampung tanda, diikuti dengan penurunan badan jaring, sampai akhirnya penurunan jangkar. Setting membutuhkan waktu kurang lebih 20 menit. Pada saat setting, arah perahu harus berlawanan dengan arus dan berada dalam keadaan stabil dan kecepatan rendah. Setelah seluruh jaring diturunkan kedalam air, mesin perahu dimatikan dan jaring dibiarkan hanyut terbawa arus selama kurang lebih 4 jam. Setelah menunggu berjam-jam, maka jaring hanyut dinaikkan lagi ke atas perahu. Proses ini dinamakan hauling. Hauling dilakukan dari sebelah kiri perahu, dimana 1 ABK menarik jaring pada tali ris atas, 2 orang menarik jaring pada bagian bawah sekaligus memisahkan hasil tangkapan dan 1 orang bertugas dalam mengurus pelampung. Setelah jaring di angkat, ikan-ikan yang terjerat kemudian di ambil.
Alat bantu penangkapan pada jaring insang hanyut yaitu:
Ø  Winch, digunakan untuk menarik jaring dengan menggulung langsung keseluruh badan jaring ke dalam drum penggulung bertenaga hidrolik. Winch juga di sebut dengan Net Drum.
Ø  Cone roler, yaitu alat penarik jaring yang tersusun dari dua buah silinder karet yang berputar berlawanan arah, sehingga jaring berikut pelampung dan pemberatnya dapat tergiling bersama untuk menarik ke atas kapal. Cone roler di gerakkan dengan tenaga hidrolis dengan kecepatan antara 20-60 meter/menit.
Ø  Kapstan merupakan mesin bantu yang digunakan untuk beragam keperluan penarikan seperti menarik tali selambar pada gill net.
Ø  Net hauler adalah alat bantu yang digunakan untuk penarikan jaring yang telah di tabur dilaut, agar jaring lebih ringan di tarik dan mudah di tata kembali di atas geladak. Cara pengoperasian net hauler adalah hanya dengan menarik jaring gill net melalui drum drum berbentuk konikal dan jaring insang tidak di gulung langsung melainkan bagian jaring yang sudah ditarik di belakang net hauler, kemudian di atur untuk persiapan penurunan jaring kembali (setting).
                               Lokasi jaring insang hanyut dapat di operasikan di dasar perairan, kolom perairan dan di permukaan perairan. Jaring insang hanyut sudah sangat dikenal luas oleh nelayan Indonesia. Salah satunya adalah nelayan di Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur. Mereka mengoperasikan jaring insang hanyut di Samudra India untuk menangkap jenis-jenis ikan tongkol dan kembung. Jaring insang hanyut juga banyak ditemukan di daerah Gorontalo dan Selat Bali (Puspito,2009).
A.   Hasil Tangkapan
            Sasaran utama dari jaring insang hanyut adalah ikan kembung (Rastrilliger sp.), ikan tongkol (Euthynus sp.), ikan layur (Lepturachantus savala), ikan samge (Pseudocinea amoyensis), ikan tembang (Sardinella fimriata). Sedangkan hasil tangkapan sampingannya yaitu gurita, ikan belanak (Mugil sp.), ikan tengiri (Scomberomorus commersoni) (Hadian, 2005).
            Jaring insang hanyut sebagai alat tangkap yang selektif, karena tidak merusak habitat, tempat tinggal dan perkembangbiakan ikan dan organisme lainnya, tidak membahayakan nelayan, menghasilkan ikan yang bermutu baik, produk tidak membahayakan kesehatan konsumen, hasil tangkapan yang terbuang minimum, tidak menangkap jenis yang di lindungi undang-undang, dan di terima sosial. Oleh karena itu jaring insang hanyut juga di terima oleh FAO.
B.    Daftar Pustaka
Diniah. 2008. Pengenalan Perikanan Tangkap. Departemen Pemanfaatan  Sumberdaya Perairan FPIK IPB, Bogor.
Hadian. 2005. Analisis Hasil Tangkap Jaring Insang Hanyut dengan Ukuran Mata Jaring 2 Inci di Teluk Jakarta(sekripsi). Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perairan FPIK IPB, Bogor.
Puspito,Gondo. 2009. Perubahan sifat-sifat Fisik Mata Jaring Insang Hanyut Setelah Digunakan 5,10,15 dan 20 Tahun, vol 12 : hal 1.
Subani,W dan H.R. barus. 1989. Alat Penangkapan Ikan dan Udang Laut di Indonesia. Balai Penelitian Perikanan Badan Penelitian  dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian, Jakarta.

Jumat, 21 November 2014

ringkasan jurnal,



PEMANFAATAN PROTEIN NABATI UNTUK PERTUMBUHAN IKAN NILA (Oreochromis sp. )
Arya Ramadhan (H1K012039).Elly kurnia Asih ( H1H013027). Nia Agustin (H1H013025).
Ririn Setiani (H1G013016). Sofi Alfiyah (H1G013026)


ABSTRACT
Protein is an essential component in the manufacture of fish feed. Protein is needed to generate power and growth of fish. Proteins can be divided into two, such as animal protein and vegetable protein. When the utilization of plant materials has started being developed in the manufacture of fish feed, including soybean meal flour, lamtorogung leaves flour ( Leucaena leucocephala ), fermented leaves flour of water hyacinth ( Eichornia crassipes ), Azolla flour, jaloh leaves flour, and palm oil cake. These materials can be processed as a feed additive manufacture additional crude fiber in fish feed. Utilization of tilapia fish feed raw materials from the leaves of plants, especially leaves of lamtorogung constrained with high content of neutral detergent fiber components (NDF) and acid detergent 39.5% fiber (ADF) 35.10%. The content of amino acids substitution Azolla flour (15%) and soybean meal (85%) higher than in the feed are 100% soy flour.
Key word : protein, ikan nila, tepung azolla, nabati, enceng gondok, lamtorogung

ABSTRAK
Protein merupakan komponen yang sangat penting dalam pembuatan pakan ikan. Protein diperlukan untuk menghasilkan tenaga dan pertumbuhan ikan. Protein dapat dibedakan menjadi dua, yaitu protein hewani dan protein nabati. Saat pemanfaatan bahan nabati sudah mulai banyak dikembangkan dalam pembuatan pakan ikan, diantaranya tepung bungkil kedelai,tepung  daun lamtorogung  (Leucaena leucocephala),tepung hasil fermentasi daun enceng gondok (Eichornia crassipes),tepung azolla, tepung daun jaloh, dan bungkil kelapa sawit. Bahan-bahan tersebut dapat diolah sebagai bahan tambahan pembuatan pakan sebagai tambahan serat kasar pada pakan ikan. Pemanfaatan bahan baku pakan ikan nila dari daun tumbuhan khususnya daun lamtorogung dibatasi dengan kandungan yang tinggi dari komponen neutral detergent fiber (NDF) 39,5% dan acid detergent fiber (ADF) 35,10%. Kandungan asam-asam amino dari subtitusi tepung azolla (15%) dan tepung kedelai (85%) lebih tinggi dibandingkan pada pakan yang 100% tepung kedelai.
Kata kunci : protein, ikan nila, tepung azolla, nabati, enceng gondok, lamtorogung

PENDAHULUAN
Salah satu jenis ikan budidaya yang berkembang pesat di Indonesia adalah ikan nila (Oreochromis sp.). Produksi perikanan budidaya mengalami peningkatan terutama ikan nila yaitu sebesar 7.116 ton pada tahun 2004 menjadi 220.900 ton pada tahun 2008 atau meningkat sebesar 23,96 %/tahun (DKP 2009). Pada tingkat dunia Indonesia berada pada peringkat empat negara produsen nila terbesar setelah Cina, Mesir dan Filipina. Usaha untuk meningkatkan kemampuan ikan mencerna pakan diharapkan akan meningkatkan pertumbuhan ikan nila.
Selama ini perkembangan pakan ikan komersial umumnya masih bertumpu pada tepung ikan sebagai sumber protein utama. Penurunan produksi tepung ikan dan meningkatnya permintaan tepung ikan menyebabkan terjadinya peningkatan harga tepung ikan secara signifikan. Penggantian tepung ikan dengan sumber protein nabati sudah berhasil dilakukan diantaranya tepung bungkil kedelai,tepung  daun lamtorogung  (Leucaena leucocephala),tepung hasil fermentasi daun enceng gondok (Eichornia crassipes),tepung azolla, tepung daun jaloh, dan bungkil kelapa sawit.
Menurut Mujiman (1984) dikatakan bahwa protein sangat diperlukan oleh tubuh ikan, baik untuk menghasilkan tenaga maupun untuk pertumbuhan. Fungsi protein di antaranya adalah sebagai berikut:
1.      Dipakai untuk memperbaiki jaringan yang rusak dan untuk membangun jaringan baru (untuk pertumbuhan).
2.      Sebagai sumber energi, atau dapat digunakan sebagai substrat untuk pembentukan jaringan karbohidrat atau lipid.
3.      Untuk pembentukan hormon, enzim dan zat penting lainnya seperti antibodi dan hemoglobin.
4.      Mengatur  keseimbangan cairan didalam jaringan dan pembuluh darah.
Pertumbuhan didefiniskan sebagai pertambahan ukuran baik bobot maupun panjang dalam satu periode waktu tertentu (Effendi, 1979) sedangkan menurut Fitriah (2004) pertumbuhan adalah pertambahan ukuran baik panjang maupun berat. Perumbuhan dipengaruhi oleh faktor genetik, hormon dan lingkungan.
Aspek fisiologi pencernaan dan pakan merupakan faktor penting untuk memacu pertumbuhan, karena menurut Wiadnya, et.al (2000), lambatnya pertumbuhan diduga disebabkan dua faktor utama, yaitu :
a.       Kondisi internal ikan sehubungan dengan kemampuan ikan dalam mencerna dan memanfaatkan pakan untuk pertambahan bobot tubuh. Benih ikan nila merupakan ikan yang termasuk hasil perbaikan genetika dari ikan mujair dan ikan nila, sehingga potensi tumbuhnya lebih baik.
b.      Kondisi eksternal pakan, yang formulasinya belum mengandung sumber nutrien yang tepat dan lengkap bagi ikan sehingga tidak dapat memacu pertumbuhan pada tingkat optimal.
ISI
Pada awalnya dalam klasifikasi ikan nila memiliki genus Tilapia yang akhirnya mengalami perubahan oleh Dr. Trewavas. Perubahan klasifikasi ini menyebabkan genus Tilapia terbagi menjadi tiga genus yaitu, genus Oreochromia, genus Sarotherodon dan genus Tilapia. Penggolongan ini berdasarkan perilaku kepedulian induk ikan terhadap telur dan anak-anaknya. Adapun klasifikasi lengkap yang telah dirumuskan oleh Dr. Trewavas (1982) adalah sebagai berikut :
Filum               : Chordata
Sub-filum        : Vertebrata
Kelas               : Osteichtyes
Sub-kelas         : Acanthoptherigii
Ordo                : Percomorphi
Sub-ordo         : Percoidea
Famili              : Cichlidae
Genus              : Oreochromis
Spesies            : Oreochromis niloticus
Ikan nila termasuk kelompok Tilapia yang memiliki bentuk tubuh memanjang, ramping dan relatif pipih. Ikan nila dapat hidup di perairan yang dalam dan luas maupun di kolam yang sempit dan dangkal. Ikan nila juga dapat hidup di sungai yang tidak terlalu deras alirannya, di waduk, danau, rawa, sawah, tambak air payau atau di dalam jaring terapung. Salah satu sifat biologi ikan nila yang penting sehingga ikan ini cocok untuk dibudidayakan adalah respon yang luas terhadap pakan yakni dapat tumbuh dengan memanfaatkan pakan alami serta pakan buatan (Khoironi 1996). Menurut Bardach et al. (1972) dalam Rachmiwati (2008) ikan nila bersifat herbivora, omnivora dan pemakan plankton. Sifat penting lain dari ikan nila adalah pertumbuhannya relatif cepat dibandingkan ikan jenis lainnya.
Ikan nila dikenal sebagai ikan yang relatif tahan terhadap perubahan lingkungan hidup walaupun hidup di perairan tawar, kelompok ikan Tilapia dapat bertahan hidup, tumbuh juga bereproduksi pada rentang salinitas yang luas (euryhaline) dengan kadar salinitas sampai 40 mg/ml (Lim dalam Lovell 1989). Nila adalah spesies akuakultur yang cukup menarik karena pertumbuhannya cepat, trofik level feeding-nya rendah sehingga dapat digunakan sebagai filter feeder, reproduksinya cepat dan mampu menstabilkan kelimpahan fitoplankton (Turker et al. 2003 dalam Rachmiwati 2008).
Pakan merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap tampilan produktifitas ikan Nila. Sumber protein nabati pada pakan ikan Nila yang banyak digunakan adalah tepung kedelai dimana tepung kedelai harganya relative mahal, sehingga perlu adanya bahan alternatif sebagai substitusi tepung kedelai yang dapat menekan biaya produksi khususnya pakan yang akhirnya dapat meningkatkan pendapatan dan produksi ikan Nila.
Protein merupakan molekul kompleks yang terdiri dari asam amino essensial dan non essensial. Protein adalah nutrien yang sangat dibutuhkan untuk perbaikan jaringan tubuh yang rusak, pemeliharaan protein tubuh, penambahan protein tubuh untuk pertumbuhan, materi untuk pembentukan enzim dan beberapa jenis hormon dan juga sebagai sumber energi (NRC 1993). Kebutuhan ikan akan protein dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya ukuran ikan, temperatur air, kadar pemberian pakan, kandungan energi dalam pakan yang dapat dicerna dan kualitas protein (Furuichi 1988).
Kebutuhan protein ikan berbeda-beda menurut spesiesnya, namun pada umumnya ikan membutuhkan protein sekitar 30-40% dalam pakannya (Jobling 1994). Ikan air tawar umumnya dapat tumbuh baik dengan pemberian pakan yang mengandung kadar protein 25-35% dengan rasio energi berbanding protein adalah sekitar 8 kkal/gram protein. Tinggi rendahnya kandungan protein optimum dalam pakan dipengaruhi oleh kandungan energi non protein yaitu yang berasal dari karbohidrat dan lemak.
            Protein dalam pakan nabati dapat diperoleh dari berbagai tumbuhan yang dapat diolah dan menjadi campuran dalam pakan ikan, diantaranya tepung bungkil kedelai,tepung  daun lamtorogung (Leucaena leucocephala),tepung hasil fermentasi daun enceng gondok (Eichornia crassipes),tepung azolla, tepung daun jaloh, dan bungkil kelapa sawit.

Tepung Bungkil Kedelai
Kedelai merupakan salah satu tanaman sumber utama protein nabati dan minyak nabati yang paling baik serta sebagai sumber lemak, vitamin, mineral dan serat. Kandungan protein berkisar 30-40%, karbohidrat 34,8%, lemak 18,1% dan masih mengandung zat gizi yang lain sehingga mempunyai potensi yang cukup baik untuk memenuhi kebutuhan nutrisi bagi ikan, khususnya kebutuhan protein. Selain itu kedelai merupakan sumber protein nabati yang efisien, dalam arti bahwa untuk memperoleh jumlah protein yang cukup diperlukan kedelai dalam jumlah yang kecil.
Dengan jumlah kandungan nutrisi yang dimiliki oleh kedelai cukup baik, terutama bagi ternak  dan adanya teknologi pengolahan untuk mengolah limbah yang dihasilkan dari kedelai tersebut yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak maka pemanfaatan limbah kedelai untuk dijadikan bungkil menjadi alternatif yang baik dengan mengingat kandungan nutrisi yang dimilikinya. Faktor lain seperti memiliki kandungan phosfor lebih rendah dibandingkan dengan bungkil biji kapas yaitu rata-rata 0,63%, seperti biji kedelai tidak kaya riboflavin tetapi kandungannya lebih tinggi dibandingkan dengan jagung dan butiran lainnya, kandungan niacin tidak tinggi, kandungan thiamin bungkil kedelai sama dengan butiran lainnya dapat menjadi alas an untuk proses pembuatan bungkil kedelai sebagai pakan ternak.
Bungkil kedelai merupakan limbah pembuatan minyak kedelai, mempunyai kandungan protein ± 42,7% dengan kandungan energi metabolisme sekitar 2240 Kkal/Kg, kandungan serat kasar rendah, sekitar 6%, tetapi kandungan methionin rendah. Penggunaan bungkil kedelai dalam ransum ayam dianjurkan tidak melebihi 40%. Walaupun dalam penggunaannya sangat dominan, akan tetapi memiliki zat anti nutrisi yang ada pada Kacang kedelai mentah mengandung beberapa trypsin, yang tidak tahan terhadap panas, oleh karena itu sebaiknya kacang kedelai diolah lebih dahulu.
Bungkil kedelai mempunyai sumber protein yang cukup tinggi terutama untuk protein kasarnya, sehingga kurang baik jika diberikan terlalu banyak. Kedelai mentah mengandung beberapa penghambat tripsin. Penghambat tripsin ini (antitripsin) tidak tahan panas, sehingga bungkil kedelai yang mengalami proses pemanasan terlebih dahulu tidak menjadi masalah dalam penyusunan ransum untuk unggas. Kualitas bungkil kedelai ditentukan oleh cara pengolahan. Pemanasan yang terlalu lama dapat merusak kadar lisin.

Tepung Daun Lamtorogung
Wisadirana (1982) menyatakan bahwa lamtorogung adalah tumbuhan leguminosa tropis, berasal dari Amerika Tengah. Disebarkan oleh orang-orang Mayan dan Zapotec ke seluruh Amerika Tengah. Klasifikasi Leucaena leucocephala menurut Brewbaker dan Hylin (1965) adalah, salah satu spesies dari genus Leucaena yang termasuk sub Famili Mimosoideae, Famili Leguminoseae, sub Ordo Rosicae, Ordo Rosales, sub Klas Dycotyledoea, Klas Angiospermopsidae, sub Divisio Spermatophyta, Divisio Traceophyta dan sub Kingdom Embryobionta. Lamtorogung (Leucaena) terdiri atas 53 spesies
Komposisi asam amino daun lamtorogung hampir seimbang dengan tepung ikan kecuali kandungan lysin dan methionin yang lebih rendah. Apabila dibandingkan dengan bungkil kedelai kandungan asam amino daun lamtoro cukup seimbang, hanya berbeda pada kandungan asam glutamat. Pemanfaatan bahan baku pakan ikan nila dari daun tumbuhan khususnya daun lamtorogung dibatasi dengan kandungan yang tinggi dari komponen neutral detergent fiber (NDF) 39,5% dan acid detergent fiber (ADF) 35,10% (Garcia et al. 1996).
Protein dihidrolisis menjadi asam amino bebas dan peptida-peptida pendek, karbohidrat dipecah menjadi gula-gula sederhana dan lemak menjadi asam-asam lemak dan gliserol. Proses-proses di atas dilakukan oleh enzim-enzim pencernaan (Tillman et al. 1991).
Kecernaan (digestibility) dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu (1) jenis pakan yang dimakan dan kadar kepekaan pakan terhadap pengaruh enzim pencernaan, (2) aktivitas enzim-enzim pencernaan, (3) lama waktu pakan yang dimakan terkena aksi enzim pencernaan. Kemampuan cerna ikan terhadap bahan baku pakan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu sifat kimia air, suhu air, jenis pakan, ukuran, umur ikan, kandungan gizi pakan, frekuensi pemberian pakan, sifat fisika dan kimia pakan serta jumlah dan macam enzim pencernaan yang terdapat di dalam saluran pencernaan ikan (NRC 1993).
Pemanfaatan bahan baku pakan ikan nila dari daun tumbuhan khususnya daun lamtorogung dibatasi dengan kandungan yang tinggi dari komponen neutral detergent fiber (NDF) 39,5% dan acid detergent fiber (ADF) 35,10% (Garcia et al. 1996). Serat kasar merupakan komponen karbohidrat yang kaya akan lignin dan selulosa yang bersifat sukar dicerna. Selulosa merupakan kerangka sel tanaman yang terdiri dari rantai -D-Glukosa dengan derajat polimerasi sebesar lebih kurang 14.000 (Baskoro 1996). Degradasi polisakarida yang terdapat pada dinding sel tanaman yang merupakan bagian terbesar komponen serat kasar bervariasi bergantung kepada jaringan tanaman, jenis tanaman dan umur tanaman (Amin 1997). Salah satu usaha untuk mengatasi kecernaan serat yang rendah adalah penggunaan enzim eksogen untuk menghidrolisis serat.
Eceng gondok (Eichornia crassipes)
            Eceng gondok (Eichornia crassipes) adalah jenis tumbuhan air yang umumnya dianggap sebagai gulma. Sebagai gulma, Eceng gondok mudah menyesuaikan diri dengan lingkungannya, cepat berkembang biak, dan mampu bersaing dengan kuat, sehingga dalam waktu yang singkat akan melimpah dan memenuhi perairan. Melimpahnya eceng gondok dapat menghambat suplai oksigen ke dasar dan menghalangi penetrasi cahaya matahari yang sangat diperlukan bagi kehidupan.
Usaha untuk membasmi maupun menekan pertumbuhan eceng gondok telah dilakukan dan menelan biaya yang cukup tinggi, tapi belum dapat memberikan hasil yang memuaskan. Pengendalian sekaligus pemanfaatan gulma air yang telah dilakukan antara lain untuk kompos, penjernih air, biogas, kertas, media pertumbuhan jamur merang dan sebagai pakan unggas. Eceng gondok (Eichornia crassipes) dapat dimanfaatkan untuk pakan ikan yang bersifat herbivora atau omnivora. Salah satu jenis ikan yang bersifat omnivora dan memiliki nilai ekonomis penting adalah ikan nila merah (Oreochromis Sp.).
            Keberhasilan budidaya ikan nila merah (Oreochromis sp) tidak terlepas dari pemberian pakan yang baik, yaitu pakan yang mengandung nutrisi yang dibutuhkan ikan nila merah (Oreochromis sp) dalam jumlah yang mencukupi dan seimbang dengan kebutuhan pertumbuhan serta mudah dicerna. Eceng gondok sebagai suatu bahan pakan yang mengandung unsur serat kasar relatif tinggi sebesar 16,79% bisa ditingkatkan nilai gizi atau kecernakannya dengan cara difermentasi. Buckel, et al., (1987), menyatakan bahwa penambahan ragi dalam bahan pakan untuk fermentasi, menyebabkan perubahan yang menguntungkan seperti perbaikan bahan pakan dari segi mutu, baik dari aspek gizi maupun daya cernanya.
            Tepung hasil fermentasi eceng gondok sebagai sumber protein nabati mempunyai komposisi yang cukup baik sebagaimana protein yang terkandung dalam tepung bungkil kedelai. Kandungan protein tepung hasil fermentasi eceng gondok pada penelitian ini sebesar 31,06%, sedangkan untuk kadar bahan kering 89,24%, abu 8,21%, lemak 1,97% dan karbohidrat 58,76%.
            Menurut Winarno (1984) pakan yang mempunyai komposisi asam amino mirip dengan komposisi asam amino ikan akan memberikan laju pertumbuhan yang baik. Kekurangan salah satu asam amino esensial dapat mengganggu proses pertumbuhan ikan. Tepung eceng gondok mengandung asam amino yang cukup lengkap salah satu asam amino esensial yaitu Triptophan. Akan tetapi dengan perlakuan fermentasi kebutuhan asam amino esensial ini akan terpenuhi, karena komposisi asam amino protein sel tunggal salah satunya adalah Triptophan. Bila dua jenis protein masing-masing memiliki kekurangan jenis asam amino esensial berbeda, dikonsumsi bersama-sama maka kekurangan asam amino dari satu protein dapat ditutupi oleh asam amino sejenis yang terdapat pada protein lainnya. Sedangkan menurut Hariyum (1986) fermentasi akan meningkatkan kandungan protein dengan memproduksi sel tunggal.
Di lain pihak kandungan lemak tepung hasil fermentasi eceng gondok relatif tinggi, sehingga energi metabolis yang dihasilkan juga meningkat. Ganong (1992) menyatakan bahwa jumlah energi yang dikonsumsi dalam bentuk makanan melebihi jumlah energi yang dibutuhkan, serta makanan tersebut dapat dicerna dan diserap dengan baik maka kelebihan energi tersebut akan disimpan dalam tubuh akibatnya berat badan akan meningkat.

Tepung Azolla
Ada beberapa alternatif bahan pakan yang dapat dimanfaatkan dalam penyusunan pada salah satunya adalah tepung Azolla. Tanaman Azolla potensial digunakan sebagai pakan karena banyak terdapat di perairan tenang seperti danau, kolam, rawa dan persawahan. Pertumbuhan Azolla dalam waktu 3 – 4 hari dapat memperbanyak diri menjadi dua kali lipat dari berat segar (Haetami dan Sastrawibawa, 2005).
Tanaman Azolla memiliki kandungan protein yang cukup tinggi 28,12% berat kering (Handajani, 2000), sedangkan Lumpkin dan Plucknet (1982) menyatakan kandungan protein pada Azolla sp sebesar 23,42% berat kering dengan komposisi asam amino esensial yang lengkap. Kandungan protein yang tinggi dari tanaman Azolla belum dapat menggambarkan secara pasti nilai gizi yang sebenarnya. Nilai gizi pakan tergantung pada jumlah ketersediaan zat-zat makanan yang digunakan ikan, yang ditunjukkan dari bagian yang hilang setelah pencernaan, penyerapan,
dan metabolisme. Cara mengukur ketersediaan zat-zat makanan bagi tubuh ikan adalah melalui penentuan kecernaan.
Hasil penelitian di atas menunjukkan adanya perbedaan pada substitusi tepung azolla terhadap tepung kedelai, hal ini menunjukkan bahwa penggunaan tepung azolla dapat digunakan sebagai substitusi tepung kedelai sebesar 15%. Hasil subtitusi tepung Azolla sebesar 15% dengan tepung kedelai 85%, menghasilkan pertumbuhan mutlak lebih tinggi (0,81) dibandingkan dengan pakan yang mengandung tepung kedelai 100% (0,57). Hal ini disebabkan oleh kandungan asam-asam amino dari subtitusi tepung azolla (15%) dan tepung kedelai (85%) lebih tinggi dibandingkan pada pakan yang 100% tepung kedelai. Sehingga apabila pakan yang diberikan mempunyai nilai nutrisi yang baik, maka dapat mempercepat laju pertumbuhan, karena zat tersebut akan dipergunakan untuk menghasilkan energi mengganti sel-sel tubuh yang rusak. Zat-zat nutrisi yang dibutuhkan adalah protein, lemak, karbohidrat, vitamin, mineral (Mudjiman, 2000).
Perlakuan yang memberikan laju pertumbuhan mutlak tertinggi dicapai pada pakan dengan tingkat substitusi 15% memiliki rata-rata pertumbuhan mutlak sebesar 0,81, kemudian pakan dengan tingkat substitusi 0% memiliki rata-rata pertumbuhan mutlak sebesar 0,57, selanjutnya pakan dengan tingkat substitusi 30% memiliki rata-rata pertumbuhan mutlak sebesar 0,55, kemudian pakan dengan tingkat substitusi 45% memiliki ratarata pertumbuhan mutlak sebesar 0,44. Sehingga syarat utama yang harus diperhatikan dalam pembuatan pakan ikan antara lain: kandungan nutrisi suatu bahan pakan harus cukup sesuai dengan kebutuhan ikan, disukai oleh ikan, mudah dicerna dan jika dilihat dari nilai ekonominya pakan yang dihasilkan dari pemanfaatan tepung azolla mempunyai harga yang relatif lebih murah jika dibanding dengan penggunaan tepung kedelai, sehingga dengan pemanfaatan tepung azolla dapat menekan biaya produksi pakan.
Tingkat efisiensi penggunaan pakan pada ikan nila gift (Oreochiomis sp.) ditentukan oleh pertumbuhan dan jumlah pakan yang diberikan. Keefisienan penggunaan pakan menunjukkan nilai pakan yang dapat merubah menjadi pertambahan pada berat badan ikan. Efisiensi pakan dapat dilihat dari beberapa faktor dimana salah satunya adalah rasio konversi pakan. Nilai rasio konversi pakan pada penelitian ini berdasarkan perhitungan statistik menunjukkan bahwa pemanfaatan tepung azolla sebagai bahan substitusi protein tepung kedelai dalam ransum berpengaruh nyata terhadap rasio konversi pakan. Hal ini dipengaruhi oleh pertumbuhan dan nilai kualitas dan kuantitas pakan yang diberikan, selanjutnya juga dipengaruhi oleh adanya tingkat konversi pakan dengan bertambahnya berat badan ikan sehingga semakin tinggi berat badan ikan maka semakin tinggi pula konversi pakan yang dimanfaatkan.
Nilai daya cerna portein merupakan hal yang sangat penting untuk mengetahui efesiensi pakan yang diberikan pada ikan. Pada Gambar 6.3 dapat dilihat perlakuan P0 (0% tepung azolla) daya cernanya 77,50%, kemudian diikuti perlakuan P1 (15% tepung azolla) daya cernanya 67,68%, P2 (30% tepung azolla) daya cernanya 62,19% dan P3 (45% tepung azolla) daya cernanya 55,51%. Hal ini disebabkan oleh protein dalam pakan telah dipecah menjadi asam-asam amino yang lebih mudah diserap oleh ikan dan kebutuhan nutriennya sudah terpenuhi. Indek asam amino esensial maisngmasing pakan telah memenuhi jumlah optimal asam amino esensial yang dibutuhkan ikan nila, sehingga penambahan tepung azolla pada pakan layak digunakan.
Tepung Daun Jaloh
Jaloh (Salix tertrasperma) merupakan tumbuhan subtropis daerah Asia, terutama India dan Cina. Penyebaran tanaman ini ke Indonesia adalah melalui Semenanjung Malaysia. Tanaman jaloh tumbuh pada daerah rawa-rawa atau pada daerah yang banyak mengandung air. Hasil pengamatan lapangan menunjukkan pada rawa-rawa yang ditumbuhi tanaman jaloh ini merupakan tempat yang disenangi oleh ikan air tawar, diduga bahwa daun jaloh yang jatuh ke dalam air memiliki efek yang baik terhadap pertumbuhan dan perkembangan ikan (Sugito et al., 2007).
Pada tanaman jaloh terdapat beberapa senyawa yang dapat meningkatkan fungsi imun tubuh, selain itu tumbuhan tersebut mengandung senyawa yang memiliki anti inflamasi dan anti bakteri (Hussain et al., 2011). Menurut laporan Kemp et al. (2001) rata-rata kandungan protein beberapa jenis tanaman Salix mencapai 14%. Hasil penelitian Sugito et al. (2007) melaporkan bahwa tanaman jaloh dapat menjadi bahan baku pakan untuk menurunkan cekaman panas pada ayam broiler.
Menurut Sugito et al. (2009), ekstrak pada batang jaloh mampu bertindak sebagai anti stres pada ayam, sedangkan pada ikan nila penambahan tepung daun jaloh 5-10% dalam pakan memberikan hasil terbaik dari segi pertumbuhan mutlak, pertumbuhan harian dan kelangsungan hidup.
Ikan nila yang dipelihara pada suhu normal ( 290C) dan ikan nila yang dipelihara pada suhu di atas normal (350C) sama - sama mempengaruhi laju pertumbuhan relatif ikan nila, namun demikian, kami menemukan bahwa laju pertumbuhan ikan nila relatif lebih tinggi bila diberikan pakan komersil + daun jaloh dan kromium dengan suhu pemeliharaan diatas normal.
Tepung Bungkil Kelapa Sawit
Bahan penyusun pakan alternatif dibutuhkan misalnya dari tepung bungkil inti sawit (BIS) yang dapat menggantikan fungsi tepung kedelai. Bungkil inti sawit dihasilkan dari industri minyak sawit dimana Indonesia merupakan salah satu negara penghasil minyak sawit dunia. Penggunaan BIS dalam pakan ikan dipengaruhi beberapa faktor, yaitu serat kasar yang mengandung makanan yang tidak dapat dicerna oleh tubuh, kandungan protein yang rendah dan kandungan lemak yang sangat tinggi. Penggunaan BIS lebih dari 8 % dalam pakan ikan mempengaruhi pertumbuhan dan parameter kualitas pakan. Penelitian dilakukan untuk mengetahui pengaruh penambahan enzim rumen dan fermentasi dengan kapang terhadap kandungan nutrisi BIS dan mengetahui tingkat kecernaan BIS sebagai bahan pakan untuk pertumbuhan nila. Penambahan enzim pada bahan pakan diharapkan dapat menurunkan kadar serat kasar. Enzim pendegradasi serat kasar yang mudah didapat adalah enzim rumen domba (Ovis aries). Serta fermentasi oleh beberapa jenis kapang: Rhizopus oligosporus, Aspergillus niger, Trichoderma reesei dan Rhizopus oryzae diharapkan dapat meningkatkan kandungan protein dan menurunkan lemak pada pakan nila.
Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh penggunaan BIS yang ditambah cairan rumen maupun yang difermentasi dengan kapang terhadap kecernaan total. Kecernaan total tertinggi terdapat pada perlakuan F, yaitu dengan perlakuan penambahan cairan enzim rumen dan fermentasi kapang Trichoderma reesei. Trichoderma reesei mampu mendegradasi manan dalam BIS dengan meningkatnya nilai energi metabolisme sejati dan total gula terlarut karena adanya perubahan polisakarida (manan) menjadi bentuk yang lebih sederhana (oligosakarida) menjadi mannosatriosa, mannobiosa dan mannose. Penambahan T. reesei dapat meningkatkan kandungan protein pada BIS dari 16,5% menjadi 24,31%.

KESIMPULAN
1.      Protein dalam pakan ikan sangat diperlukan oleh tubuh ikan, baik untuk menghasilkan tenaga maupun untuk pertumbuhan.
2.      Protein dalam pakan nabati dapat diperoleh dari berbagai tumbuhan yang dapat diolah dan menjadi campuran dalam pakan ikan, diantaranya tepung bungkil kedelai,tepung  daun lamtorogung  (Leucaena leucocephala),tepung hasil fermentasi daun enceng gondok (Eichornia crassipes),tepung azolla, tepung daun jaloh, dan bungkil kelapa sawit.
3.      Pemanfaatan bahan baku pakan ikan nila dari daun tumbuhan khususnya daun lamtorogung dibatasi dengan kandungan yang tinggi dari komponen neutral detergent fiber (NDF) 39,5% dan acid detergent fiber (ADF) 35,10% (Garcia et al. 1996).
4.      Eceng gondok sebagai suatu bahan pakan yang mengandung unsur serat kasar relatif tinggi sebesar 16,79% bisa ditingkatkan nilai gizi atau kecernakannya dengan cara difermentasi.
5.      Kandungan asam-asam amino dari subtitusi tepung azolla (15%) dan tepung kedelai (85%) lebih tinggi dibandingkan pada pakan yang 100% tepung kedelai.
6.      Penambahan tepung daun jaloh 5-10% pada ikan nila dalam pakan memberikan hasil terbaik dari segi pertumbuhan mutlak, pertumbuhan harian dan kelangsungan hidup.
7.      Penggunaan bungkil inti sawit (BIS) dalam pakan ikan dipengaruhi beberapa faktor, yaitu serat kasar yang mengandung makanan yang tidak dapat dicerna oleh tubuh, kandungan protein yang rendah dan kandungan lemak yang sangat tinggi. Penggunaan bungkil inti sawit (BIS) lebih dari 8 % dalam pakan ikan mempengaruhi pertumbuhan dan parameter kualitas pakan.

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Arya Ramadhan ( H1K012039 / Ilmu Kelautan ) :
APLIKASI BUNGKIL INTI SAWIT MELALUI PEMBERIAN ENZIM RUMEN DAN FERMENTASI SEBAGAI BAHAN PAKAN IKAN NILA BEST (Oreochromis niloticus)

Elly Kurnia Asih ( H1H013025 / Budidaya Perairan ) :
EFEK KROMIUM (Cr+3) DENGAN TEPUNG DAUN JALOH TERHADAP LAJU PERTUMBUHAN RELATIF DAN KADAR PROKSIMAT KARBOHIDRAT PADA IKAN NILA (Oreochromis niloticus) YANG MENGALAMI STRES PANAS

Nia Agustin ( H1H013025 / Budidaya Perairan ) :
KINERJA PERTUMBUHAN IKAN NILA ( Oreochromis niloticus ) YANG DIBERI BERBAGAI DOSIS ENZIM CAIRAN RUMEN PADA PAKAN BERBASIS DAUN LAMTOROGUNG ( Leucaena leucocephala )

Ririn Setiani ( H1G013016 / Manajemen Sumberdaya Perairan ) :
PEMANFAATAN TEPUNG AZOLLA SEBAGAI PENYUSUN PAKAN IKAN TERHADAP PERTUMBUHAN DAN DAYA CERNA IKAN NILA GIFT (Oreochromis sp)

Sofi Alfiyah ( H1G013026 / Manajemen Sumberdaya Perairan ) :
PEMANFAATAN TEPUNG HASIL FERMENTASI ECENG GONDOK (Eichornia crassipes) SEBAGAI CAMPURAN PAKAN IKAN UNTUK MENINGKATAN BERAT BADAN DAN DAYA CERNA PROTEIN IKAN NILA MERAH (Oreochromis sp)